12 Oktober 2012

Tulisan Indah yang Terlupakan

Di tengah perkembangan teknologi, banyak pekerjaan ‘ketinggalan jaman’ yang semakin redup. Di Indonesia hanya segelintir seniman penulis indah yang masih bertahan hingga saat ini. Mereka kalah bersaing dengan komputer, salah satu penemuan terbaik dalam sejarah kehidupan manusia.

Papan bertuliskan ‘Tulis Indah’, bertempelkan sertifikat berhiaskan tulisan tangan bersandar pada pagar di pinggir kali di kawasan Pasar Baru, Jakarta. Nando, pembuat tulisan indah itu menunggu pelanggan sambil duduk di atas pagar. Akan tetapi, siang itu sangat sepi. Jangankan ada yang mampir memberi pesanan, bahkan hanya ada beberapa pejalan kaki yang melintas. 

Sepinya pelanggan sudah dialami warga Matraman ini sejak masuknya abad ke-21. Jaman serba instan membuat sertifikat, ijazah, dan kartu ucapan dengan mudahnya dicetak menggunakan printer. Sementara itu, menggunakan jasa penulis indah menjadi pilihan kedua karena biayanya lebih mahal. Hal ini berimbas pada seniman-seniman ini. Maka tidak heran jika terkadang mereka tidak mendapat pelanggan sama sekali dalam sehari.

Saat mulai terjun di Pasar Baru kelas 1 SMA, Nando menyatakan ada sekitar tiga puluh rekan seprofesinya di lokasi yang sama. Dengan jumlah saingan sebanyak itu pun ia masih bisa memperoleh pendapatan setara dengan uang sakunya selama 50 hari. Sekarang? Pria 43 tahun ini hanyalah satu dari lima penulis indah yang tersisa. 

Tinta, air, bolpoin, dan kertas adalah peralatan Nando sehari-hari.  Dari alat-alat tersebut ia menghidupi istri dan dua anaknya. Yang terpenting adalah ketabahan dan rasa cintanya terhadap profesi ini menjadi  bekal terakhir yang membuatnya tetap duduk menunggu pelanggan yang tinggal hitungan jari dalam seminggu.  
Meski sulit, Nando bertekad untuk terus mempertahankan profesi ini semampunya. Salah satu faktor pendukung lain yang membuatnya bertahan adalah tidak adanya komplain dari keluarga. Alumi SMA Fajar Kayumanis Jakarta ini enggan berganti pekerjaan, termasuk jika ia mendapatkan tawaran. Ketika ditanya mengenai pendapatan, ia menyatakan bahwa penghasilannya tidak terlalu besar ataupun kecil. “Alhamdullilah masih mencukupi,” katanya.

Butuh perubahan


Fenomena semakin terkikisnya seniman penulis indah seiring munculnya media komunikasi yang lebih memudahkan masyarakat juga diakui Wito, pelukis sekaligus penulis indah. Pria bernama asli Sugito ini merupakan pendiri sekaligus ketua Kelompok Pelukis dan Penulis Indah Pasar Baru. 

Orang yang sudah jatuh cinta terhadap pekerjaan bisa saja terus terlena dalam zona nyamannya. “Kalau mindset-nya gak  berubah, ikutin jaman ya susah,” kata pria yang selalu menggunakan topi khas seniman di berbagai kesempatan ini. Semua orang harus mau berkembang. Ketika teknologi merebut pelanggan mereka, para seniman penulis indah dituntut untuk berinovasi untuk menarik kembali pasar mereka.
Wito yang juga sahabat karib almarhum Mbah Surip ini prihatin dengan seniman yang cuma menulis tapi tidak bisa melukis. Oleh karena itu ia mengharapkan para penulis indah mau ‘menambah’ profesi menjadi pelukis yang dapat dijual tiap waktu, berbeda dengan menulis sertifikat yang cederung musiman dan tidak pasti.


0 comments:

Posting Komentar

Comment please:

 
;